PERATURAN MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 2 TAHUN 1987

TENTANG

WALI HAKIM

 

MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIA

 

Menimbang:

a.

 

 

 

 

bahwa sahnya nikah menurut agama Islam ditentukan antara lain dengan adanya Wali Nikah, karena itu apabila Wali Nasab tidak ada, atau mafqud (tidak diketahui di mana berada) atau berhalangan atau tidak memenuhi syarat atau adhal (menolak), maka Wali Nikahnya adalah Wali Hakim;

 

 

b.

bahwa berhubung Peraturan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1952 tentang Wali Hakim, Peraturan Menteri Agama Nomor 4 Tahun 1952 tentang Wali Hakim untuk luar Jawa Madura dan Instruksi Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1958 tentang Penunjukan Pejabat Wali Hakim, dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan dewasa ini, perlu diadakan penyempurnaan;

 

 

c.

bahwa untuk merealisasikan maksud huruf a dan b diatas perlu menetapkan Peraturan Menteri Agama.

     

Mengingat :

1.

Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk.

     
 

2.

Undang-undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Penetapan berlakunya Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk di Seluruh Daerah Luar Jawa dan Madura.

     
 

3.

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

     
 

4.

Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

     
 

5.

Keputusan Presiden RI Nomor 44 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Organisasi Departemen.

     
 

6.

Keputusan Presiden RI Nomor 15 Tahun 1984 tentang Susunan Organisasi Departemen.

     
 

7.

Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1975 tentang Kewajiban Pegawai Pencatat Nikah dan Tata Kerja Pengadilan Agama dalam Melaksanakan Peraturan Perundang-undangan Perkawinan yang Beragama Islam.

     
 

8.

Peraturan Menteri Agama Nomor 4 Tahun 1975 tentang Contoh Model Akta Nikah, Buku Pendaftaran Talak, Buku Pendaftaran Cerai, Buku Pendaftaran Rujuk dan Kutipan-kutipannya serta Daftar Pemeriksaan Nikah.

     
 

9.

Peraturan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1976 tentang Penunjukan Pegawai untuk Mengangkat dan Memberhentikan Pegawai Pencatat Nikah serta Menetapkan Wilayahnya.

     
 

10.

Peraturan Menteri Agama Nomor 6 Tahun 1983 tentang Penunjukan dan Pemberhentian serta Kewajiban dan Hak Pembantu Pegawai Pencatat Nikah (Pembantu PPN).

     
 

11.

Keputusan Menteri Agama Nomor 18 Tahun 1975 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Departemen Agama yang telah diubah dan disempurnakan terakhir dengan Keputusan Menteri Agama Nomor 75 Tahun 1984.

 

 

MEMUTUSKAN:

 

Dengan mencabut :

 

    1. Peraturan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1952 tentang Wali Hakim.

 

    2. Peraturan Menteri Agama Nomor 4 Tahun 1952 tentang Wali Hakim untuk Luar Jawa Madura.

 

    3. Instruksi Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1958 tentang Penunjukan Pejabat Wali Hakim.

 

Menetapkan :

 

PERATURAN MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIA

TENTANG

WALI HAKIM.

 

BAB I

 

KETENTUAN UMUM

 

Pasal 1

 

Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan :

    a. Wali Nasab adalah pria beragama Islam yang berhubungan darah dengan calon mempelai wanita dari pihak ayah menurut hukum Islam.

    b. Wali Hakim adalah pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Agama atau pejabat yang ditunjuk olehnya untuk bertindak sebagai Wali Nikah bagi calon mempelai wanita yang tidak mempunyai Wali.

 

 

BAB II

 

PENETAPAN ADHALNYA WALI

 

Pasal 2

 

    (1) Bagi calon mempelai wanita yang akan menikah di wilayah Indonesia atau di luar negeri/wilayah ekstra-teritorial Indonesia ternyata tidak mempunyai Wali Nasab yang berhak atau Wali Nasabnya tidak memenuhi syarat atau mafqud atau berhalangan atau adhal, maka nikahnya dapat dilangsungkan dengan Wali Hakim.

 

    (2) Untuk menyatakan adhalnya Wali sebagaimana tersebut ayat (1) pasal ini ditetapkan dengan keputusan Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal calon mempelai wanita.

 

    (3) Pengadilan Agama memeriksa dan menetapkan adhalnya Wali dengan cara singkat atas permohonan calon mempelai wanita dengan menghadirkan wali calon mempelai wanita.

 

 

Pasal 3

 

Pemeriksaan dan penetapan adhalnya Wali bagi calon mempelai wanita warganegara Indonesia yang bertempat tinggal di luar negeri dilakukan oleh Wali Hakim yang akan menikahkan calon mempelai wanita.

 

 

BAB III

 

PENUNJUKAN WALI HAKIM

 

Pasal 4

 

    (1) Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan selaku Pegawai Pencatat Nikah ditunjuk menjadi Wali Hakim dalam wilayahnya untuk menikahkan mempelai wanita sebagai dimaksud pasal 2 ayat (1) peraturan ini.

 

    (2) Apabila di wilayah kecamatan, Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan berhalangan atau tidak ada, maka Kepala Seksi Urusan Agama Islam atas nama Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kotamadya diberi kuasa untuk atas nama Menteri Agama menunjuk Wakil/Pembantu Pegawai Pencatat Nikah untuk sementara menjadi Wali Hakim dalam wilayahnya.

 

 

Pasal 5

 

Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji diberi wewenang untuk atas nama Menteri Agama menunjuk Pegawai yang memenuhi syarat menjadi Wali Hakim pada Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri sebagaimana dimaksud pasal 2 ayat (1) peraturan ini.

 

 

BAB IV

AKAD NIKAH

 

Pasal 6

 

    (1) Sebelum akad nikah dilangsungkan Wali Hakim meminta kembali kepada Wali Nasabnya untuk menikahkan calon mempelai wanita, sekalipun sudah ada penetapan Pengadilan Agama tentang adhalnya Wali.

 

    (2) Apabila Wali Nasabnya tetap adhal, maka akad nikah dilangsungkan dengan Wali Hakim.

 

 

BAB V

KETENTUAN PENUTUP

 

Pasal 7

 

    (1) Hal-hal yang belum diatur dalam peraturan ini akan diatur lebih lanjut oleh Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji dan/atau Direktur Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam baik bersama-sama maupun sendiri-sendiri dalam bidangnya masing-masing.

 

    (2) Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

 

 

Ditetapkan di: J A K A R T A

Pada tanggal : 28 Oktober 1987

MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIA,

 

ttd.

 

H. MUNAWIR SJADZALI

 

 

TEMBUSAN:

    1. Para Menteri Kabinet Pembangunan IV.

    2. Sekretaris Negara.

    3. Sekretariat Kabinet Pembangunan IV.

    4. Sekjen DPR RI.

    5. Sekretariat Komisi IX DPR RI.

    6. Dirjen Anggaran Departemen Keuangan.

    7. Kepala Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan.

    8. Dirjen Hukum dan Perundang-undangan Dep. Kehakiman.

    9. Sekjen/Irjen/para Dirjen/Kabadlitbang Agama/Staf Ahli Menteri di lingkungan Departemen Agama.

    10. Gubernur KDH TK I di seluruh Indonesia.

    11. Rektor IAIN di seluruh Indonesia.

    12. Ketua Pengadilan Tinggi Agama di seluruh Indonesia.

    13. Para Kepala Biro/Direktur/Inspektur/Kapuslitbang Agama/Kapusdiklat Pegawai di lingkungan Dep. Agama.

    14. Kepala Kanwil Departemen Agama di seluruh Indonesia.

    15. Bupati/Walikotamadya KDH TK II Kabupaten/Kotamadya di seluruh Indonesia.

    16. Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kotamadya di seluruh Indonesia.

    17. Ketua Pengadilan Agama seluruh Indonesia.

    18. Biro Hukum dan Humas Departemen Agama.

 

PENJELASAN

PERATURAN MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 2 TAHUN 1937

TENTANG

WALI HAKIM

 

I. PENJELASAN UMUM

 

    1. Sejak mulai berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tanggal 1 Oktober 1975 yang merupakan pelaksanaan secara efektif Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dan sejak mulai berlakunya Keputusan Menteri Agama Nomor 18 Tahun 1975 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Departemen Agama, ketentuan-ketentuan tentang Wali Hakim yang diatur dalam Peraturan Menteri Agama Nomor 4 Tahun 1952 dan Instruksi Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1958 tidak sesuai lagi. Oleh karena itu Peraturan Menteri Agama yang sekarang ini merupakan suatu usaha dalam menyesuaikan ketentuan-ketentuan tentang Wali Hakim dengan ketentuan-ketentuan yang sedang berlaku tentang susunan organisasi dan tata kerja Departemen Agama.

 

    2. Sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang-undang 1 Tahun 1974 bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, maka peraturan ini juga berupaya agar di satu pihak tauliyah (pelimpahan) Wali Hakim dan pelaksanaan perkawinan yang dilangsungkan dengan Wali Hakim memenuhi persyaratan yang sah menurut hukum agama Islam, dan di lain pihak harus pula memenuhi ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.

 

II. PENJELASAN PASAL DEMI PASAL.

 

Pasal 1 Cukup jelas.

 

Pasal 2 ayat (1)

    Yang dimaksud "memenuhi syarat" pada ayat ini ialah: Syarat-syarat menurut hukum Islam seperti: baligh, berakal. Islam dan lain-lain.

    Yang dimaksud dengan "berhalangan" adalah: Walinya ada, tetapi sedang ditahan, tidak dapat dijumpai, sedang umrah, haji, sakit keras yang tidak dapat dijumpai, masafatul qasri/jarak yang jauh yang sulit dihubungi dan sebagainya.

 

Pasal 3 cukup jelas.

 

Pasal 4 ayat (2)

    Yang dimaksud dengan "berhalangan" pada ayat ini adalah: sedang sakit, cuti, sedang menjalankan tugas dinas, sedang melaksanakan umrah haji dan sebagainya.

    Yang dimaksud dengan "tidak ada" adalah kekosongan Wali Hakim seperti: meninggal, berhenti, pensiun, pindah.

    Yang dimaksud dengan "memenuhi syarat" pada pasal 5 peraturan ini adalah di samping memenuhi syarat sebagai Wali menurut ketentuan hukum munakahat dan mengerti hukum perkawinan nasional yang diatur dalam Undang-undang Perkawinan dan peraturan pelaksanaannya.

 

Pasal 6 cukup jelas.

 

Pasal 7 cukup jelas.